“Aku sungguh
mencintainya”..
itu yang selalu aku ucapkan dalam setiap do’a dan sujudku
padaNya.
Entah bagian dari dirinya yang mana hingga aku bisa menancapkan
kata-kata itu di hatiku.
Tapi yang pasti aku merasakan rasa ini sejak aku
mendengar ia melantunkan ayat suci al-qur’an di sebuah sholat dzuhur yang
diimaminya.
Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 2 SMA di salah satu
sekolah negeri di daerah tangerang. Sedangkan kejadian itu terjadi di masjid
sekolah sebelah sekolahku.
Sungguh
indah lantunan suaranya, hingga aku sangat meresapi setiap ayat suci yang
dikumandangakan dirinya.
Setelah shalat dzuhur itu aku langsung bergegas
menemui temanku yang sudah menunggu diluar masjid.
Dan saat menemui temanku,
ternyata dia mengenalkan aku dengan teman-teman sekolahnya yang kebetulan tadi
juga shalat dzuhur sama-sama, dan semuanya ikhwan.
Agak canggung juga,
untungnya waktu itu aku lupa bawa kacamata, jadi tak terlihat jelas wajah
mereka itu.
Saat aku pulang dengan temanku itu, tak sengaja aku menunduk malu
dan bertanya tentang imam itu, ternyata imam itu salah satu temannya di
sekolah, bahkan hubungannya cukup dekat karena mereka dalam satu
ekstrakulikuler yang sama.
Bahkan, sebenarnya tadi aku juga berkenalan dengan
dia. Subhanallah... langsung saja temanku punya fikiran kalau aku menyukainya.
Tapi
rasa itu pendam dalam hati, hanya aku, dan Rabb yang tau bagaimana rasa itu
ada.
Sejak pertemuan
itu, aku tak pernah melihat sosok pria itu lagi.
Walaupun sekolah kami
bersebelahan, tak pernah aku menemuinya.
Mungkin walaupun bertemu, pasti aku
tak mengenalinya dengan jelas, karena waktu pertemuan pertama wajahnya tak
terlihat jelas.
Walau begitu, sejak saat itu namanya muncul dalam do’a yang
kupanjatkan meski aku tak tau jelas bagaimana sosok yang aku kagumi itu.
Tak ada
orang yang tahu, dan perasaan itu tetap tumbuh hingga aku menyelesaikan SMA ku.
Hanya satu kejelasan yang aku tahu tentang dirinya kalau dia ada satu tahun
diatas ku.
Tak pernah
sedikitpun aku tahu tentang dirinya, hingga suatu saat setelah kelulusan SMA
temanku itu menghubungi telepon genggamku.
“rul,
kamu lagi dekat dengan pria nda?”,
sungguh aku kaget waktu temanku bertanya
seperti itu, setelah aku tanya kenapa dan dia bilang bahwa sang imam
menyukaiku.
Subhanallah.... sosok yang selalu dambakan, yang selalu aku sebut
dalam do’a, yang selalu kusimpan rasanya dalam hati, kini ia hadir.
Tiba-tiba
aku meneteskan air mata, tak sanggup rasanya berbuat apapun lagi.
Lalu setelah
kejadian itu, untuk pertama kalinya aku mempunyai hubungan khusus dengan
seorang pria.
Awalnya kami hanya berkomunikasi lewat SMS dan telepon saja, lalu
berlanjut dengan sebuah pertemuan.
Dari percakapan antara aku dan dia, aku tahu
bahwa dia sudah mempunyai perasaan itu sejak pertama kali kami berkenalan waktu
itu.
Dan aku mulai menyadari lagi besarnya kekuasaan Sang Rabb.
Hubungan kamipun
semakin akrab, namun aku selalu menjaganya agar tidak melampaui batas yang
sudah ditentukan, hingga akhirnya aku mulai memasuki perguruan tinggi yang letaknya
jauh dari rumah.
Aku mulai resah, antara memikirkan dia dan kuliahku itu.
Aku berbincang
dengan dia, agak lama aku berbicara dengannya.
Dan aku teteskan air mata
dipipiku, mengingat pertemuan yang baru saja terjadi ini ternyata harus
dipisahkan oleh jarak yang cukup jauh.
Dia mengusap air mata itu dengan
saputangannya yang berwarna biru laut.
Kata-katanya menguatkan langkahku untuk
mampu pergi jauh darinya,
“dimanapun
kamu berada, tetap ingat Allah disetiap langkahmu, tetap ingat ayah dan bunda
dalam setiap tetes peluh keringat belajarmu, tak usah khawatirkan bagaimana
diriku atau bagaimana jika tak bertemu, karena sesungguhnya ini baik untukmu
dan aku. Walau kita tak bisa bersama saat ini, aku kan selalu meminta kepada
penciptaMu agar bisa dipersatukan dalam suasana yang suci dengan mu. Aku kan
berusaha...”
Sejak pertemuan
itu aku pergi meninggalkan kota tangerang dan cerita bersamanya.
Menjadi pribadi
yang lebih baik untuk semuanya adalah mimpiku dalam perjalanan ini.
Aku dengarkan
pesannya yang diberikan padaku, aku sangat fokus menimba ilmu, namun sungguh
namanya juga selalu saja tersebut dalam do’aku.
Setahun
sekali aku pulang ke tangerang untuk menemui orang tuaku, dan saat ini aku tak
pernah berkomunikasi lagi dengan dia.
Hingga tahun ketiga aku pulang, dan tahun
ini aku cukup lama tinggal di tangerang.
Akhirnya aku bertemu dengan dia, dalam
keadaan yang berbeda.
Dia telah menyelesaikan kuliahnya, dan telah bekerja di
salah satu perusahaan milik negara.
Dia datang kerumahku, sungguh pada awalnya
aku terkejut dengan kedatangannya, sudah lama aku tak pernah bertemu bahakan
bertukar cerita lagi dengannya.
Dan sekarang dia ada dihadapan mataku.
Pertemuan
itu sama seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya, hanya saja berbeda
kondisinya.
Aku terkejut lagi saat dia mengundang kedua orang tuaku dalam
pertemuan itu.
Dan subhanallah.. dia meminta izin kepada kedua orang tuaku
untuk bisa meminangku, dan esok hari keluarganya akan datang kerumahku.
Orang tuaku
dengan senang hati menerimanya, dan aku hanya bisa menundukkan kepalanya dan banyak
mengucap syukur pada Sang Kholik.
Esok harinya
keluarganya datang untuk melamarku, sungguh bahagia tak terkira saat itu.
Ibunya
memakaikan cincin indah di jari manisku, dan ayah memimpin do’a waktu itu.
Tanggal
pernikahanpun telah ditentukan, yaitu 6 bulan mendatang saat aku menyelesaikan
kuliahku.
Dan setelah acar itu selesai, dia memberikan sebuah surat kepadaku.
Dibungkus
rapih dalam amplop putih tanpa ada suatu apapun yang tertulis di amplop itu.
Sebelum
dia pulang dengan keluarganya, dia mengucapkan pesan kepadaku
“ habibah...
insya allah, aku kan wujudkan janjiku dahulu padamu, untuk bisa bersamamu dalam
suatu ikatan yang suci, aku kan tetap berusaha”...
Esok harinya
aku harus kembali ke kampus.
Aku ingat dengan surat yang dia berikan padaku,
aku simpan surat itu di tas kecilku malam harinya.
Dan saat adzan subuh
berkumandang, aku telah rapih untuk shalat, lalu bergegas berangkat menuju
stasiun.
Di perjalanan, ternyata aku lupa membawa taskecilku yang aku siapkan
tadi malam, dalam tas itu ada peralatan tulisku, telepon genggam, sebagian
ongkos kereta, dan surat itu.
Astaghfirullah... bagaimana bisa aku lupa, dan
aku hanya berharap tas itu tak ada yang membukanya saja.
Pada bulan
ke 6 ayah dan ibu datang ke wisuda ku, alhamdulillah aku mampu menyelesaikan
studi ku dalam waktu 3,5 tahun.
Dan esoknya aku, ayah dan ibu lekas pulang ke
tangerang.
Tanggal pernikahanku hanya tinggal 1 minggu lagi, dan semua hal
telah dipersiapkan oleh calon suamiku ucap ibuku.
Aku bahagia menjelang
saat-saat itu, dan mengingat-ingat cerita dahulu saat aku bertemu dengannya.
Dan
kini, kan ku jelang hari-hari bersama sosok pria yang telah lama aku idam-idamkan.
Sesampainya
dirumah, aku langsung beristirahat dikamar.
Dan malamnya, aku shalat tahajud seperti biasanya.
Dan seperti biasa,
namanya selalu ada dalam do’aku..
“aku mencintainya yaa Rabb... satukanlah kami
dalam indahnya cinta dan kasihMu”...
namun, tak biasanya ibu memanggil aku
malam-malam seperti ini.
Bergegas aku turun ke ruang tamu menemui ibuku, dan
tak hanya ibu, ayah pun terbangun pada malam ini.
Hanya satu pertanyaanku “ada
apa malam-malam seperti ini ?”.
raut wajah mereka tak bisa ku tebak, ayah
menggenggam erat telepon rumahku.
Tanpa panjang lebar ibu memberitahu kepadaku
bahwa calon suamiku mengalami kecelakaan saat dia mengendarai motornya sepulang
dari kantor.
Dan akupun
lemas mendengar kabar itu,
lalu ibu melanjutkan bahwa saat dia dibawa ke rumah
sakit terdekat, nyawanya sudah tiada.
Dia sudah pergi, pergi untuk selamanya.
Meninggalkan
aku...
Ayah langsung
mengeluarkan mobil dari garasi, kami langsung pergi ke rumahnya.
Dan benar, aku
melihatnya terbaring di ruang tamu, baru kali ini aku melihatnya dengan pakaian
kain kafan.
Putih, bersih, tak ada luka sedikitpun.
Dan aku masih tak percaya
akan bertemu lagi dengannya dalam keadaan seperti ini.
Aku tertunduk, menangis
sendu, dan tak berhenti menyebut namaNya dalam tangisku ini.
Ibunya menghampiriku,
mencium keningku, meminta maaf kepadaku.
Dan aku hanya bisa mengangguk
menjawabnya.
Tak sepatah kata pun terucap lagi hingga pemakaman tiba.
Pagi hari
calon suamiku dimakamkan, saat dia sudah berada di liang lahat, saat itulah aku
melihatnya untuk terakhir kalinya. Sungguh aku sangat bersedih......
Aku kembali
ke rumah, mencoba menenangkan diri dengan shlat duha.
Dan namanya masih ku
sebut dalam do’a ku “yaa Rabb.. aku mencintainya...”.
aku teringat dengan surat
yang dia berikan kepadaku waktu itu. Kucari tas kecilku itu, dan akhirnya
kutemukan.
Dengan masih memakai mukena, aku baca surat itu perlahan-lahan..
Assalamualaikum
bidadariku...
Semoga
Allah selalu berada disisimu dimanapun kau berada.
Habibah..
Aku telah
melamarmu untuk menjadi bagian dari kehidupanku, aku memilihmu untuk menemani
diriku hingga Allah memanggilku kembali. Hanya Allah yang tahu bagaimana
besarnya rasa cintaku padamu, semenjak aku melihatmu, telah aku yakinkan hati
ini bahwa aku jatuh cinta pada sosok wanita seperti dirimu.
Habibah...
Bukan
baru kemarin aku mengenalmu, dan sungguh indah akhlakmu. Aku menginginkanmu
untuk menjadi ibu yang sholehah bagi anak-anakku kelak. Aku menginginkanmu
untuk menjadi istri yang sholehah bagi diri yang hina ini.
Bukan
suatu hal yang mudah untuk menunggu saat ini, saat kau dekat dengan ku, aku
selalu berusaha agar aku tak menyakitimu dengan cara apapun, aku selalu
berusaha agar aku bisa menjaga pandanganku dari indahnya matamu. Dan saat kau
jauh dariku, aku selalu berusaha menjaga diriku agar rinduku padamu tak
mengalahkan rinduku bertemu denganNya. Bukan aku tak mencintaimu, tapi karena
aku sangat mencintai dan mengahargaimu. Aku tak ingin adanya diriku malah
membuat dirimu terpuruk dalam dosa cinta yang tak seharusnya.
Habibah...
Saat
meminangmu, aku ingin menghadiahkanmu dengan hafalan Al-Qur’an yang sudah aku
pelajari dalam 3 tahun ini. Aku ingin membacakan surah Ar-Rahman dalam ijab
kabul kelak. Aku harap kau senang bidadariku...
Habibah...
Maafkan
aku jika aku pernah menyakitimu, sungguh tak ada niat sedikitpun untuk ku
menyakiti wanita sepertimu. Aku akan selalu berusaha mewujudkan janjiku padamu,
namun jika Allah berkehendak lain, ikhlaskanlah.. karena sesungguhnya kita
semua adalah HakNya.
Dan
habibah...
Janganlah
menangis lagi, karena air matamu terlalu berharga untukku. Bahkan kelak, jika
kau mengizinkan aku akan berwudhu dengan air matamu. Jangan menangis lagi
bidadariku...
Ana uhibbu
ilaiki...
Wassalamualaikum....
Daffa
‘alauddin
Setelah
aku membaca surat darinya.
Aku hapus air mataku, karena aku tak ingin ia
menyucikan dirinya dengan air mataku, air mataku tak terlalu suci untuknya.
Dan
aku bacakan surah Ar-Rahman kepadanya. Ampunilah segala dosanya Yaa Rabb,
tempatkan dia disisiMu yang terindah.
Tolong sampaikan padanya bahawa aku akan
selalu mencintainya...
afifah n,n
Terkuras sudah air mataqu saat membacay
BalasHapus