doraemonluphu

doraemonluphu

Selasa, 08 November 2011

gadis peyek...


Banyak orang yang bilang kalo “hidup susah banget yaa,,..”,
tapi banyak juga kok kalo yang bilang kalo “enjoy aja sih jalanin hidup mah.. jangan diambil pusing”.
Bagi ku sendiri, hidup itu adalah sebuah pilihan antara baik dan buruk.
Walaupun sebenarnya jalan hidup kita ya emang udah ditentuin dari sananya.
Hari ini langit lagi mendung. 
Ga tau deh udah berapa lama kota tangerang ga diguyur hujan. 
Gara-gara hujan ga turun-turun, banyak orang-orang ngelakuin segala cara buat “manggil” hujan. 
Ada yang shalat istisqa, bahkan ada juga yang ngelakuin ritual bakar menyan cuma buat manggil hujan. 
Tapi yang pasti, hujan itu berkah, dalam hatiku sendiri aku udah janji ga akan pernah menyesali datangnya hujan, karena waktu itu sempet ditegur sama anton (temen les waktu sma) gara-gara cuma ngomong : “yaaaahh.... ujan ton!!”. Langsung aja kepal aku sampe di toyor sama dia.. “hush, hujan itu berkah tau..”. ooo, jadi dari situ aku tau kalo sebenarnya hujan adalah sebuah keberkahan.
Benar saja, akhirnya gerimis kecil, lalu hujan lebat turun menyapu halaman rumah ku. 
Aku masih berdiri di depan jendela, entah keindahan apa yang sedang aku nikmati saat hujan turun. 
Aku masih terpaku sampai ibu memanggil ku..
“yung.......”. buyar semua rasanya keindahan itu, aku menghampiri ibu di dapur. 
Ternyata peyek sudah matang semua. 
Tugasku untuk membungkus rapih peyek itu ke dalam kantong plastik kecil, lalu memasukkannya ke dus besar. 
Lalu aku juga yang mengantar ke toko. Biasanya dengan bapa aku pergi mengantar peyek, naik beat merah.
Selesai sudah semua peyek rapih di tempatnya. Sekarang yang ada difikiranku adalah bagaimana caranya membawa kardus besar peyek ini tanpa membuatnya basah terkena hujan?? 
Ga bisa berfikir saat ini. 
Kacau rasanya. Azan ashar ternyata sudah berkumandang, segera aku shalat berjamaah di rumah. Dan jujur saja dalam shalat itu hanya hujan dan peyek yang kufikirkan. 
Setelah shalat aku menengok ke belakang, melihat dus besar itu. Hufht....
Pakaianku sudah rapih setelah shalat asar, bapa juga begitu. Hujan berhenti juga akhirnya. Bergegas bapa mengeluarkan beat merah dari rumah. 
Hanya berbekal helm, tanpa jaket aku pergi dengan motor. 
Ibu hanya memberikan plastik besar, mungkin maksudnya untuk jas hujan aku dan bapa. 
Yasudah, kami berangkat. Jarak ke toko kira-kira 12 km, biasanya waktu yang diperlukan itu 30 menit. 
Sebelum berangkat mataku menatap langit disebelah utara, hitam, gelap, dan kesanalah aku dan bapa menuju.
Mungkin sebentar lagi hujan akan turun lagi, harus bergegas......
Benar saja, baru kira-kira melewati 2 gang dari rumah, hujan tanpa gerimis langsung jatuh. 
Serasa ditabrak hujan es batu!. Tanpa pikir panjang, deretan ruko yang tutup menjadi tempat persinggahan sementara aku dan bapa. 
Aku masih memegang erat dus besar peyek itu, berharap tidak basah dan aku tetap memeganya dengan tanganku yang bisa dibilang kurang gizi itu. 
Berat, kalau ditaruh dibawah pasti basah, dan pasti tak laku. 
10 menit seperti ini rasanya tanganku sudah mati rasa. 
Amat sangat berat, antara rasa sakit dan dingin menjadi satu. 
Di depan ku adalah jalan raya, banyak mobil yang berlalu lalang di depan ku. 
Awalnya biasa saja melihat mobil-mobil itu, namun entah mengapa lama-kelamaan air mataku menetes.
Andaikan ku bisa punya satu mobil saja, rasanya mengantar peyek ke toko adalah hal yang mudah. Tidak kepanasan, dan yang pasti tidak kehujanan. 
Namun, andaikan aku punya mobilpun pasti ibu tidak perlu lagi membuat peyek seperti ini, karena dapat dilihat bahwa mereka yang bermobil adalah orang yang berkecukupan. Hufht.......
Mulai gerimis kecil, bapa membuka lipatan plastik besar yang diberikan ibu tada saat dirumah. Ternyata plastik itu hanya cukup untuk satu orang. 
Dan hanya bapa dan dus peyek yang tertutupi plastik itu, sedangkan aku harus kehujanan kecil. Baru saja keluar pintu gerbang komplek, hujan deras turun kembali, kami pun meneduh kembali.
Kali ini aku benar-benar ingin menangis, kami berhenti di depan mini market. 
Bapa berfikiran untuk membeli jau hujan di mini market itu. 
Aku menunggu di luar, aku menangis, badan ku basah, dan sebagian dus peyek juga basah karena dus itu aku pangku dengan kondisi celanaku yang basah. “dusnya basah.. yaa allah.......”
Bapa keluar dengan membawa jas hujan yang cukup besar berwarna kuning. 
Aku sedikit lega.
Lalu kami melanjutkan perjalanan saat hujan mulai reda. 
Hujan masih mengguyur kota tangerang, aku masih kehujanan. 
Di perjalanan, kami lewat jalan raya tangerang yang penuh dengan mobil dan truk besar. 
Aku tak tahu bahwa disebelah ada mobil yang akan menyalip motor kami, tanpa memperdulikan kami yang mengendarai motor, tanpa melihat kami yang susah payah membawa dus besar di motor, mobil itu tetap memacu kendaraannya dengan cepat dengan keadaan jalanan tergenang air. Sudah pasti kami terkena cipratan air hujan dari jalan.
Semakin basah celana yang aku gunakan, sungguh kesal telah sampai pada puncaknya. 
Aku hanya bisa menangis menahan rasa kesal ini. 
Sesaat aku mendengar bapa berkata “perjuangan kita ga akan sia-sia mba! Allah Maha Melihat”... aku tenang, dan aku juga teringat dengan perkataan Anton bahwa hujan adalah keberkahan. 
Air mataku berhenti, rasa kesal ku berubah menjadi rasa syukur.
Tak lama, kami sampai di toko, disana hujan sudah tak turun. 
Segera aku taruh dus peyek besar ini, aku bertemu petugas di toko itu. 
Dia kaget waktu melihat aku basah kuyup, segelas teh manis disuguhkan untuk aku dan bapa yang terlihat kedinginan. 
Petugas disini memang ramah-ramah. 
Sesaat, kami mulai untuk menghitung keuntungan minggu lalu. 
Alhamdulillah.... peyek minggu lalu habis terjual semua. Aku memegang uang penjualan peyek, dapat 250 ribu rupiah!
Saat pulang, hujan sudah tak turun lagi. 
Di perjalanan pulang, aku berpegangan erat ke bapa. 
Sejenak menyenderkan kepala ku, dalam hati aku berkata “ini keberkahan... benar, hujan adalah keberkahan....”

­_afifah_ n,n