Banyak orang
yang bilang kalo “hidup susah banget yaa,,..”,
tapi banyak juga kok kalo yang
bilang kalo “enjoy aja sih jalanin hidup mah.. jangan diambil pusing”.
Bagi ku
sendiri, hidup itu adalah sebuah pilihan antara baik dan buruk.
Walaupun sebenarnya
jalan hidup kita ya emang udah ditentuin dari sananya.
Hari ini
langit lagi mendung.
Ga tau deh udah berapa lama kota tangerang ga diguyur
hujan.
Gara-gara hujan ga turun-turun, banyak orang-orang ngelakuin segala cara
buat “manggil” hujan.
Ada yang shalat istisqa, bahkan ada juga yang ngelakuin
ritual bakar menyan cuma buat manggil hujan.
Tapi yang pasti, hujan itu berkah,
dalam hatiku sendiri aku udah janji ga akan pernah menyesali datangnya hujan,
karena waktu itu sempet ditegur sama anton (temen les waktu sma) gara-gara cuma
ngomong : “yaaaahh.... ujan ton!!”. Langsung aja kepal aku sampe di toyor sama
dia.. “hush, hujan itu berkah tau..”. ooo, jadi dari situ aku tau kalo
sebenarnya hujan adalah sebuah keberkahan.
Benar saja,
akhirnya gerimis kecil, lalu hujan lebat turun menyapu halaman rumah ku.
Aku masih
berdiri di depan jendela, entah keindahan apa yang sedang aku nikmati saat
hujan turun.
Aku masih terpaku sampai ibu memanggil ku..
“yung.......”. buyar
semua rasanya keindahan itu, aku menghampiri ibu di dapur.
Ternyata peyek sudah
matang semua.
Tugasku untuk membungkus
rapih peyek itu ke dalam kantong plastik kecil, lalu memasukkannya ke dus
besar.
Lalu aku juga yang mengantar ke toko. Biasanya dengan bapa aku pergi
mengantar peyek, naik beat merah.
Selesai
sudah semua peyek rapih di tempatnya. Sekarang yang ada difikiranku adalah
bagaimana caranya membawa kardus besar peyek ini tanpa membuatnya basah terkena
hujan??
Ga bisa berfikir saat ini.
Kacau rasanya. Azan ashar ternyata sudah
berkumandang, segera aku shalat berjamaah di rumah. Dan jujur saja dalam shalat
itu hanya hujan dan peyek yang kufikirkan.
Setelah shalat aku menengok ke
belakang, melihat dus besar itu. Hufht....
Pakaianku
sudah rapih setelah shalat asar, bapa juga begitu. Hujan berhenti juga
akhirnya. Bergegas bapa mengeluarkan beat merah dari rumah.
Hanya berbekal
helm, tanpa jaket aku pergi dengan motor.
Ibu hanya memberikan plastik besar,
mungkin maksudnya untuk jas hujan aku dan bapa.
Yasudah, kami berangkat. Jarak ke
toko kira-kira 12 km, biasanya waktu yang diperlukan itu 30 menit.
Sebelum berangkat
mataku menatap langit disebelah utara, hitam, gelap, dan kesanalah aku dan bapa
menuju.
Mungkin
sebentar lagi hujan akan turun lagi, harus bergegas......
Benar saja,
baru kira-kira melewati 2 gang dari rumah, hujan tanpa gerimis langsung jatuh.
Serasa
ditabrak hujan es batu!. Tanpa pikir panjang, deretan ruko yang tutup menjadi
tempat persinggahan sementara aku dan bapa.
Aku masih memegang erat dus besar
peyek itu, berharap tidak basah dan aku tetap memeganya dengan tanganku yang
bisa dibilang kurang gizi itu.
Berat, kalau ditaruh dibawah pasti basah, dan
pasti tak laku.
10 menit seperti ini rasanya tanganku sudah mati rasa.
Amat sangat
berat, antara rasa sakit dan dingin menjadi satu.
Di depan ku adalah jalan
raya, banyak mobil yang berlalu lalang di depan ku.
Awalnya biasa saja melihat
mobil-mobil itu, namun entah mengapa lama-kelamaan air mataku menetes.
Andaikan
ku bisa punya satu mobil saja, rasanya mengantar peyek ke toko adalah hal yang
mudah. Tidak kepanasan, dan yang pasti tidak kehujanan.
Namun, andaikan aku
punya mobilpun pasti ibu tidak perlu lagi membuat peyek seperti ini, karena
dapat dilihat bahwa mereka yang bermobil adalah orang yang berkecukupan. Hufht.......
Mulai gerimis
kecil, bapa membuka lipatan plastik besar yang diberikan ibu tada saat dirumah.
Ternyata plastik itu hanya cukup untuk satu orang.
Dan hanya bapa dan dus peyek
yang tertutupi plastik itu, sedangkan aku harus kehujanan kecil. Baru saja
keluar pintu gerbang komplek, hujan deras turun kembali, kami pun meneduh
kembali.
Kali ini
aku benar-benar ingin menangis, kami berhenti di depan mini market.
Bapa berfikiran
untuk membeli jau hujan di mini market itu.
Aku menunggu di luar, aku menangis,
badan ku basah, dan sebagian dus peyek juga basah karena dus itu aku pangku
dengan kondisi celanaku yang basah. “dusnya basah.. yaa allah.......”
Bapa keluar
dengan membawa jas hujan yang cukup besar berwarna kuning.
Aku sedikit lega.
Lalu
kami melanjutkan perjalanan saat hujan mulai reda.
Hujan masih mengguyur kota
tangerang, aku masih kehujanan.
Di perjalanan, kami lewat jalan raya tangerang
yang penuh dengan mobil dan truk besar.
Aku tak tahu bahwa disebelah ada mobil
yang akan menyalip motor kami, tanpa memperdulikan kami yang mengendarai motor,
tanpa melihat kami yang susah payah membawa dus besar di motor, mobil itu tetap
memacu kendaraannya dengan cepat dengan keadaan jalanan tergenang air. Sudah pasti
kami terkena cipratan air hujan dari jalan.
Semakin
basah celana yang aku gunakan, sungguh kesal telah sampai pada puncaknya.
Aku
hanya bisa menangis menahan rasa kesal ini.
Sesaat aku mendengar bapa berkata “perjuangan
kita ga akan sia-sia mba! Allah Maha Melihat”... aku tenang, dan aku juga teringat
dengan perkataan Anton bahwa hujan adalah keberkahan.
Air mataku berhenti, rasa
kesal ku berubah menjadi rasa syukur.
Tak lama,
kami sampai di toko, disana hujan sudah tak turun.
Segera aku taruh dus peyek
besar ini, aku bertemu petugas di toko itu.
Dia kaget waktu melihat aku basah
kuyup, segelas teh manis disuguhkan untuk aku dan bapa yang terlihat
kedinginan.
Petugas disini memang ramah-ramah.
Sesaat, kami mulai untuk
menghitung keuntungan minggu lalu.
Alhamdulillah.... peyek minggu lalu habis
terjual semua. Aku memegang uang penjualan peyek, dapat 250 ribu rupiah!
Saat pulang,
hujan sudah tak turun lagi.
Di perjalanan pulang, aku berpegangan erat ke bapa.
Sejenak menyenderkan kepala ku, dalam hati aku berkata “ini keberkahan...
benar, hujan adalah keberkahan....”
_afifah_
n,n
cerpen yang mengingatkan bahwa hujan adalah keberkahan :) nice story.
BalasHapuscara ngeblog cwo dan cwe ternyata beda banget yah :D
alhamdulillah..
BalasHapus