DETIK TERINDAH
Hufh.. alhamdulillah sidang skripsiku
berhasil ku tempuh dengan berkeringat dingin, dan tinggal 1 bulan lagi aku
berada di universitas ini. Rasanya tak sabar menunggu hari itu, aku yang akan
memakai baju toga dan mendapat gelar sarjana. Hufhhh.....tak sabar hatiku.
Astaghfirulloh, 5 menit lagi aku ada janji dengan dosen PA ku..!
Di saat kemacetan melanda Jakarta,
rintik gerimis jatuh membasahi jendela metromini yang aku tumpangi, suara tabrakannya
dengan atap metromini yang sudah tak layak jalan ini ternyata dapat menciptakan
nada-nada yang harmonis. Orang-orang berlarian di luar sana mencari tempat
berteduh, tapi ada saja yang mengambil kesempatan dalam kesempitan seperti ini.
Aku coba menenangkan fikiranku dengan
memejamkan mata, dan setelah beberapa detik ada yang menggenggam tanganku. Saat
aku membuka kelopak mataku, Neil sudah berdiri di sampingku.
“ ah.. sejak kapan kau ada disini
neil?” tanya ku dengan senang,
“ baru aja kok, kenapa? Kaget ya? hahahaha.....”
jawabnya dengan santai,
Neil yang aku kenal dari pertemuan
yang tak aku sangka itu sekarang sudah menjadi seseorang yang penting bagiku
setelah bunda dan abang ku Daffa. Dia menjanjikan sebuah acara pernikahan yang
sederhana dan kental akan islam kelak, bersamaku. Ah...aku suka tersipu malu
saat Neil memanggil ku dengan sebutan “ habibah ”. ada-ada saja fikiran orang itu.
Gerimis masih menyelimuti kampus ku
saat aku tiba, masih harus naik bis kampus dahulu. Neil duduk tepat disebelah
ku, bercerita tentang tingkah nakal adiknya di sekolah, namun bagiku itu bukan
nakal tapi lucu, bayangkan saja tingkah anak SMA yang solider sedang
mempermainkan gurunya. Dari yang memberikan lem power di bangku guru sampai menipu guru tentang pekerjan rumah yang
diberikan.
Tak lama aku bercengkrama dengan Neil,
aku harus turun lebih dahulu karena telah tiba di fakultas farmasi. Aku berlari
memasuki kampus, derap langkahku terasa berat, bukan karena lembaran kertas
yang aku bawa, namun karena ketidakstabilan tubuhku. Sudah sebulan aku tidak
memerikasakan diri ke Dokter Abi karena sibuk dengan tugas akhir yang harus
diseleaikan. Tapi yasudahlah, buktinya aku masih bisa bertahan. Orang-orang
terdekatku selalu memberi semangat.
Hufh.. agak susah menemui dosen PA ku
yang sangat sibuk, bahkan aku mengorbankan waktuku untuk ikut kelas beliau
padahal kuliahku sudah rampung semua. Tapi, daripada nantinya aku kehilangan
jejak beliau lagi, lebih baik begini. Aku hanya bisa tersenyum pada Pak Sasmita
yang sudah sayu itu. Mungkin ini mata pelajaran kuliahnya yang terakhir. Tahun
ajaran ini seharusnya dapat menjadi saat-saat yang terpenting untuk beliau, yaa
karena sepengetahuanku tahun depan beliau sudah harus pensiun.
Aku duduk di kursi belakang, tepat di
depanku masih ada teman-temanku yang belumselesai mengambil mata kuliah ini. Syila
dan galih sedang asyik membahas acara amal, sedang kimi di depan sana sedang
asyik membuat origami. Aku rasa kimi mengambil jurusan yang salah, seharusnya
dia ambil sastra jepang saja. Kimi hanyalah segelintir orang yang menjadi
korban keinginan orang tua. ya.. begitulah gambaran lingkungan sekitarku. Baik,
dan berjalan normal apa adanya.
Setelah kelas selesai, aku berusaha
menemui Pak Sasmita di ruangannya. Semoga revisi skripsi terakhirku ini sudah dapat
diterima.
“ permisi pak, saya ingin memberikan
revisi skripsi saya ini. Bagaimana menurut bapak?” tanya ku,
“ hmmhhh.... saya rasa ini sudah
sangat bagus, kalau begitu skripsimu langsung serahkan kepada kepala kajurmu
nak.”jawab Pak sasmita,
“ baik pak! Terimakasih banyak! Saya
permisi...”pamitku,
Setelah ku serahkan skripsi ku kepada
kajur, seperti biasa aku selalu menenangkan diriku di taman dekat danau bersama
Galih, syila dan kimi. Kimi nampak kebingungan dengan skripsinya yang belum
rampung, tapi tetap saja walaupun stres melanda, gaya tetap nomor 1. itulah
yang mebuat aku merasa senang di dekatnya.
“ oia da, gimana tadi sama Pak
sasmita? Tampaknya sukses ya? Hufh, tapi kenapa masih susah aku minta tanda
tangan untuk acara amal bulan depan ya?” keluh Galih,
“ oh.. mungkin lu kurang PDKT ama Pak
Ses itu Gal!” sambut Kimi
“ hah? Apaan sih PDKT? Pendidikan
kuliah teknologi? Apa sih?” tanya syila,
“ haduh syila, plis donk jangan kurang gaul, maen sama gue tuh harus gaul. PDKT
itu artinya pendekatan..” jelas kimi,
“ njiah.. dikira orang pacaran
pendekatan!!”
“ udah-udah, mungkin Pak Samita juga mikirin
kamu gal!” jelas ku
“ hah? Kepentingan aku bagaimana?
Jelas ini acara penting buat orang banyak da!” tegas galih..
“ maksud ku seharusnya kau fokus
dengan skripsi mu itu.. coba tinggalkan sejenak kegiatan organisasimu itu,
ingat, tugasmu sebagai mantan ketua BEM hanya mendidik adik-adikmu dan
mengawasinya, beri kepercayaan kepada adik-adikmu itu.” Jelas ku panjang,
“ hmmh... benar kata nida gal, nih..udah
jangan stres gitu ah, ambil coklat gue!” Tawar syila,
“ iaia... makasih atas sarannya ya..” kata
galih,
Ya alloh, kenapa dadaku sesak.. “
uhuk-uhuk..”
“ nida, lu kenapa?” khawatir yang
lain,
“ ah, nggak apa apa, lucu aja ngeliat kalian,
tapi kayaknya aku harus menemui Neil sekarang, maaf ya kawan!!” pamitku,
Aku berjalan pelan keluar, memberhentikan
bis untuk keluar, aku ada janji dengan Neil, aku tak mau terlambat. Tapi
mengapa lama-lama dada ini terasa sesak,
“ uhuk-uhuk..” ya alloh, darah lagi!
Ku bersihkan darah ku dengan sapu tanganku, berharap agar Neil tidak
mengetahuinya, aku buang sapu tangan itu di jalan.
Di
saat terasa sesak, pandanganku menjadi kabur. Tapi aku harus segera menemui
Neil, pasti dia sudah lama menunggu. Aku turun dari bis, aku lemah.. semakin
berat langkahku, terasa grafitasi bumi terlalu kuat menarikku, dengan tegap aku
menghampiri Neil, dia menyambutku dengan hangat. Aku membalas dengan senyum ku.
Namun tiba-tiba, aku tak berdaya, gelap yang ada dalam penglihatanku. Dan..aku
terjatuh dalam dekapan Neil, masih terdengar samar-samar suara neil yang panik,
baru kali ini aku mendengar Neil berteriak panik seperti itu, namun terasa
merdu untukku.
Kepanikan
sudah tak ada, hanya kesunyian di sekitarku. Aku dapat melihat tubuhku yang tak
berdaya di atas matras rumah sakit. Ada selang oksigen di hidungku. Aku terdiam
melihat tubuh itu, itu aku.. seorang Nida yang ada di atas matras itu.. aku..
tak lama bunda dan Bang Daffa datang, terlihat kepanikan dalam wajah-wajah itu,
abang tak bisa berkata selain menitikkan air mata, sedangkan bunda tak menangis
sama sekali. Ku lihat bunda menggenggam
tanganku erat-erat, membisikkan kata “ engkau permata hatiku anakku.. bunda
yakin kamu kuat..”
Sudah
lama aku tak bertemu Bunda, meski kami sama-sama tinggal di kota Jakarta, namun
berbeda tempat tinggal. Dan sekarang aku hanya ingin memeluk bunda dan berkata
“ Nida sayang bunda, Nida gak akan ninggalin bunda.. nida tetap permata hati
bunda yang selalu sayang bunda..”, namun aku tak bisa, aku hanya bisa melihat
bunda, tak bisa memeluk dan menciumnya, tak bisa mengatakan sayang.
Sudah
3 minggu aku disini, hanya bisa menyaksikan semua teman-teman ku datang,
menggenggam tanganku, lalu pergi. Selama 3 minggu abang, bunda dan Neil setia
menemani tubuhku yang tak berdaya itu. Abang masih terlihat sibuk mengcancel semua jadwal hikingnya. Padahal,
seharusnya minggu depan dia harus menaklukan Jaya Wijaya lagi untuk ke 3
kalinya, namun sepertinya batal.
“
zaki, ini gue Daffa, kayaknya gue gak bisa ikut buat mandu anak-anak lagi, Nida
masih koma Zak!” jelas Abang lewat telepon,
“
ia zak, gue juga mau. Tapi ade gue lebih penting. Tolong ngerti ya zak!” kata
terakhir abang dalam percakapannya.
Aku
sadar, seharusnya 5 hari lagi aku akan wisuda. Namun...aku tak tahu apa aku
bisa menghadirinya dalam keadaan seperti ini. Bunda menemaniku setiap hari, merawatku
dengan sabar. Matanya lebam, aku tahu pasti bunda habis menangis selama di
toilet tadi, tapi dia tak pernah menitikkan air matanya di depanku. Sungguh,
aku sayang bunda.
Neil
masih sering menjengukku sampai 1 hari sebelum wisuda, dia bercerita lagi
tentang adiknya. Dia selalu tertawa saat bercerita, hiperaktif. Yaa...begitulah
Neil.
“
Nida, kamu tahu, aku sangat menyayangimu. Tak pernah aku ingin melihat air mata
di wajahmu..” bisik Neil
“
heemh...hufh... besok kita wisuda da, kita jadi sarjana. Kamu ingat rencana
kita kan? Kira-kira, kamu mau pakai gaun warna apa nanti saat pernikahan? Putih
aja ya,..hhhee..” tanya Neil.
“
Nida, aku tahu kamu dengar semua kata-kata ku kan? Aku mau hidup denganmu.. dan
melindungimu.. kamu harus kuat” ucap Neil
Neil
memberikan kecupan di keningku, dia pamit pulang untuk persiapan wisuda besok.
Lalu bunda datang, dia membawa baju toga untukku, lalu dia gantungkan di tembok
sambil berkata “ besok kau sarjana nak, bunda ingin melihat kamu memakai baju
ini besok.. maka, kuatlah kamu nak..”
Sampai
malam bunda memperhatikan baju toga itu, sambil memikirkan apa aku bisa
mengenakannya besok. Dan pagi ini adalah hari wisudaku, Neil, Syila, Kimi, Galih
dan segenap mahasiswa angkatanku.
Sekarang pukul 10 tepat, masih ada bunda
dan abang Daffa di sampingku. Ada yang datang menjemputku, mengambil aku dari
tubuh yang tak berdaya di atas matras. Terasa sakit, menyesakkan, namun terasa
lega.
Terlihat bunda dan abang menjadi
panik, dokter Abi segera melihat kondisiku, sejenak dokter Abi terdiam, dan
dengan tenang ia berkata,
“ Nida sudah kembali kepada Alloh SWT”
Ucapannya
bersamaan dengan disebutnya namaku sebagai Sarjana Farmasi. Aku tahu, senyumanku
pada neil hari itu adalah untuk yang terakhir. Kenanglah senyumku....
tulisan pertama.. semangat nn
BalasHapus